MAKALAH
MODEL PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Disusun untuk
memenuhi tugas Al-Islam dan Study Al-Qur’an
Dosen : M. Khozinul
Huda, M.Pd.I
Disusun Oleh Kelompok : 3 (Tiga) A5
1. Majid Hakim (110641178)
2. Retna Dwi
Winarsih (110641192)
3. Rita (110641163)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
Jl. Watu Belah-Sumber Cirebon
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan sebaik
mungkin. Makalah ini merupakan bentuk pertanggung jawaban tugas mata kuliah Al-Islam dan Study Al-qur'an.
Makalah
ini tidak dapat tersususun dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
- Bapak M. Khozinul Huda, M.Pd.I. Selaku dosen mata kuliah Al islam dan study al-quran
Semoga
budi baik dan jasa-jasa mereka akan mendapatkan balasan yang baik dari Tuhan
Yang Maha Esa. Amiin. Kami
berharap Makalah ini dapat bermanfaat begi penulis pada khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ...................................................................................................
Latar Belakang .......................................................................................................
Rumusan Masalah ..................................................................................................
PEMBAHASAN .....................................................................................................
Model Penafsiran Al-qur’an...................................................................................
A. Pengertian Model-Model
Tafsir dalam Al-Qur’an
B. Model-Model Tafsir dalam Al-Qur’an
1. Tafsir sufistik
2. Tafsir Fiqih
3. Tafsir Falsafi
4.Tafsir Ilmi’
5.Tafsir Adabi-Ijtimai’I
PENUTUP
- Kesimpulan
- Kritik dan Saran
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat manusia,
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pemisah antara yang hak dan
yang batil demi kebahagiaan hidup manusia di dunia maupun diakhirat. Realitas
sejarah memaparkan bahwa sampai hari ini urgensi al-Qur’an masih menempati
posisi sentral dalam kehidupan manusia, bahkan tidak henti-hentinya menjadi
inspirator, pemandu dan pemadu berbagai gerakan ummat Islam.
Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur’an harus dipahami, dihayati, dan
diamalkan, oleh manusia yang beriman kepada petunjuk itu. Namun, dalam
kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur’an, bahkan
sahabat-sahabat nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu,
mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan makna
kosa katanya. Tidak jarang, mereka berbeda pendapat atau bahkan keliru memahami
maksud firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu. Oleh karena
itu, Rasulullah mengemban tugas untuk menjelaskan (mubayyin).
Di zaman Rasulullah masih hidup, ummat Islam tidak banyak menemukan
kesulitan dalam memahami “petunjuk” guna mengarungi kehidupannya, sebab mana
kala mereka menemukan kesulitan dalam satu ayat, mereka langsung bertanya
kepada Rasulullah. Akan tetapi sepeninggal Rasulullah, ummat Islam banyak
menemukan kesulitan, karena meskipun mereka mengerti bahasa arab al-Qur’an
terkadang mengandung isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran
orang-orang arab. Oleh sebab itu, mereka pun membutuhkan tafsir yang bisa
membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat seperti itu.
Langkah pertama yang mereka ambil ialah menengok pada hadits Rasulullah.
Karena mereka berkeyakinan bahwa beliaulah satu-satunya orang yang paling
banyak mengetahui makna-makna wahyu Allah. Disamping itu, mereka mengambil
langkah-langkah dengan cara menafsirkan satu ayat dengan ayat lainnya dan
gaya
penafsiran. Langkah selanjutnya mereka tempuh ialah menanyakannya kepada
sahabat yang terlibat langsung serta memahami konteks posisi ayat tersebut. Dan
manakala mereka tidak menemukan jawaban dalam keterangan Nabi (hadits) atau
sahabat, yang memahami betul konteks posisi ayat itu, mereka terpaksa melakukan
ijtihad dan lantas berpegang pada ijtihad dan lantas berpegang pada pendapatnya
sendiri. Namun pada masa ini belum ada karya tafsir yang berdiri sendiri yang
khusus menafsirkan Al-Qur’an surat demi surat, ayat demi ayat,
dari awal sampai selesai.
Di akhir- akhir priode Dinasti bani umayyah dan di awal periode bani
Abbas, dan ditengah-tengah suasana lahir dan terbentuknya berbagai disiplin
ilmu, tafsir berkembang menjadi ilmu tersendiri, terpisah dari hadits. Sejak
saat ini kajian tafsir yang membahas seluruh ayat al-Qur’an ditulis dan disusun
sesuai dengan susunan yang terdapat di dalam al-Mushaf. Usaha penulisan karya
tafsir yang demikian selesai ditangan sekelompok ulama, antara lain, Ibn Mjah
(w. 273 H), Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), al-Nisyaburi (w. 318/, dan
ulama-ulama lainnya yang hidup di zaman ini.
B. Rumusan
Masalah
Berangkat dari permasalahan-permasalahan diatas, penulis akan menyajikan
makalah yang bertemakan model-model tafsir dalam al-Qur’ an dengan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian model-model tafsir dalam al-Qur’an?.
2. Bagaimana
model-model tafsir dalam al-Qur’an?.
PEMBAHASAN
Model Penafsiran Al- Quran
A. Pengertian Model-Model Tafsir
dalam Al-Qur’an
Istilah “model” dalam bahasa Indonesia bermakna pola, contoh dan ragam/corak
dari suatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Definisi lain dari model
adalah abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih sederhana
serta mempunyai tingkat presentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan
hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya.
Adapun pengertian tafsir adalah penjelasan mengenai pengertian suatu
kata, dan penjelasan itu dapat bersifat hakiki (menurut makna kata itu
sendiri), tetapi dapat pula bersifat majazi (tidak menurut makna katanya),
namun masih dalam kerangka. Sedangkan tafsir menurut al-Kilabi adalah
menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang
dikehendaki nash, isyarat, atau tujuan-nnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa
model-model tafsir adalah ragam/corak dan abstraksi dalam menjelaskan
al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash,
isyarat, atau tujuannya.
B. Model-Model Tafsir dalam Al-Qur’an
Seiring dengan adanya
metode-metode penafsiran, lahirlah corak-corak atau model penfsiran Al-quran.
Berikut ini terdapat model-model atau corak dalam penafsiran Al-quran yang di
kemukakan oleh musafir yang kita kenal, yaitu M.Quraish
Shihab.
`
M.Quraish Shihab, mengatakan bahwa corak penafsiran
yang dikenal selama ini, antara lain :
- Tafsir sufistik
Tafsir sufi atau yang lebih
dikenal dengan istilah tafsir Isyari, secara etimologis berasal dari asal kata
asyara-yusyiru-isyaratan yang berarti memberi isyarat atau petunjuk. Jadi kata
“Isyari” berfungsi sebagai keterangan sifat bagi lafal “tafsir” dengan demikian
“tafsir Isyari” berarti sebuah penafsiran al-Qur’an yang berangkat dari isyarat
atau petunjuk. Artinya penafsiran diberikan sesuai dengan isyarat atau
petunjuk yang diterima oleh mufassirnya melalui ilham. Oleh karena itulah
“tafsir Isyari” disebut juga “tafsir sufi”.
Sebagai dampak dari kemajuan
ilmu dan peradaban Islam, muncullah ilmu tasawuf. Kemudian pada perkembangan
selanjutnya muncul aliran tasawuf yang mewarnai penafsiran Al-quran, yaitu
aliran tasawuf teoritis dan aliran tasawuf praktis. Pada aliran tasawuf
teoritis ini, dalam menakwilkan ayat-ayat Al-quran tanpa mengikuti cara-cara
yang benar dan menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan
didukung oleh dalil-dalil syara’ yang telah terbukti kebenarannya bila dilihat
dari sudut pandang bahasa. Sedangkan pada aliran tasawuf praktis, dalam
menakwilkan Al-quran memberikan penjelasan yanng berbeda dengan kandungan
tekstualnya.
Corak tafsir sufi yang lahir
sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari
kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau
karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah
didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah
menjadi minat dasar bagi mufassir. Jadi, dalam Penafsiran sufistik melakukan
penafsiran dengan bercorak kerohanian/tasawuf.
Contoh penafsiran sufistik, yaitu penafsiran al-Tastary ketika
menafsirkan ayat 22 dari surat
al-Baqarah :
….فلا
تجعلوا لله اندادا
Artinya : ….. Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah
a) Syarat tafsir
sufistik
Tafsir Sufistik dapat diterima jika memenuhi sayarat-syarat berikut ini :
- Tidak menafikkan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-quran
§
Penafsirannya diperkuat
oleh dalil syara’ yang lain
§
Penafsirannya tidak
bertentangan dengan dalil syara atau rasio
§ Penafsirannya tidak
mengakui bahwa penafsirannya itulah yang dikehendaki Allah atau bukan
pengertian tekstualnya.
b) Kitab-kitab tafsir
sufistik
Diantara kitab-kitab Tafsir sufistik adalah sebagai berikut:
tafsir al-Qur’an al-Azhim, karya Imam at-tusturi
(w. 283 H), Haqaqa’iq at-Tafsir, karya al-Allamah As-Sulami (w. 412), Arais
Aa-Bayan fi Haqa’iq al-Qur’an, karya Imam asy-Syirazi (w. 283).
2.
Tafsir Fiqih
Setelah Rasulullah SAW wafat,
para fuqaha’ dari kalangan sahabat mengendalikan ummat di bawah kepemimpinan
Kulafau’rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum
pernah terjadi sebelumya, maka al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka
menginstinbathkan hukum-hukum syara’nya. Jadi pada tafsir fiqih ini menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan
Hukum-Hukum syara’. Contoh tafsir fiqih mengenai firman Allah surah al-Baqarah
ayat 187 yaitu :
احل لكم ليل الصيا م الرفث
الي نسا ءيكم
Artinya : “dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa berhubungan dengan istri-istri
kamu”.
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah
mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang di siang
hari bulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat malik yang mengatakan
batal dan wajib mengqadha. Menurut
pendapat selain malik, Qurtubhi mengemukakan pendapatnya bahwa tidaklah dipandang batal setiap orang
yang makan karena lupa akan puasanya. Pendapat yang dikemukakannya adalah pendapat yang benar, dimana jumhur pun berpendapat sama bahwa
barangsiapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadhanya.
a)
Kitab-kitab tafsir Fiqih
Di antara kitab tafsir
fiqih adalah sebagai berikut : Ahkam
Al-Qur’an karya Al-Jashshash (w. 370 H), Ahkam Al-Qur’an karya Ibn Al-Arabi (w.
543 H), Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurthubi (w. 671).
3. Tafsir
Falsafi
Pendekatan ini dapat membantu memahami Al-Qur’an dalam upaya
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenal sesuatu yang berada dibalik
objek formalnya.
Para ulama tidak seluruhnya sepakat
dengan penjelasan filsafat, bahkan di antara mereka terjadi perbedaan dalam
penerimaannya. Adapun yang diperdebatkan dalam pemakaian filsafat adalah nilai
kebenaran dan cara penelusuruannya.
Penjelasan secara filosofy sangat dibutuhkan manakala berhadapan dengan umat
lain atau paham lain yang memerlukan penjelasan rasional lebih terperinci.
Misalnya, orang Persia
ataupun orang Yunani yang sebelumnya memiliki tradisi pemikiran dengan
filsafatnya yang kuat, tentu saja pendekatan filosofy dalam menyampaikan pesan
al-Qur’an sangatlah relevan. Oleh karenanya, bagi mereka agama dan filsafat
merupakan proses dialektika yang saling menjelaskan dan saling mendukung untuk
menemukan sebuah kebenaran dan makna bagi manusia. Contoh tafsir falsafih
yaitu:
1. Tafsir Al Farabi
Al-Farabi adalah roh pengerak tradisi filsafat. Ia wafat pada tahun 339 H
sebagaimana dalam kitabnya Fushush al Hikam dari sebagian ayat dan
hakikat dalam Al-Qur’an. Tafsirnya termasuk dalam kategori tafsir falsafy. Seperti
ketika ia menafsirkan al-awaliyah dan al-Akhirah dalam surah al-Hadid :
3 هو الول والأخرة dengan
penafsiran bahwa al-awal adalah
wujud terdahulu yang tanpa ada yang mendahuluinya. Awal di sini dari segi zaman
yaitu tiada zaman yang melingkupi maupun sesuatu besertanya. Sedangkan al-Akhirah adalah suatu
ketika bersebab karena-Nya dan bersandar kepada-Nya. DIa-lah yang menjadi tujuan
akhir yang hakiki dalam setiap pencarian, seperti tujuan kebahagiaan dalam
perkataan: Kenapa engkau minum air?, Maka jawabannya adalah untuk menghilangkan
dahaga. Mengapa menghilangkan dahaga?, agar sehat. Kenapa harus sehat?, agar
bahagia dan baik, kemudian
tak ada pertanyaan yang layak mendapat jawaban daripadanya karena kebahagiaan
dan kebaikan dicari karena keadaannya tidak karena yang lain. Oleh karena itu al-Akhir adalah akhir dari
segala tujuan, awal dalam fikiran dan akhir dalam tujuan. Dialah akhir dari
arah segala zaman yang tiada yang mengakhiri lagi, dan tiada wujud zaman akhir yang lebih akhir dari yang Haq.
2.
Tafsir Ikhwan As Shafa
Penjelasan terhadap Al-Qur?an seperti di atas dapat kita
temukan dalam ikhwan al Shafa yang meskipun tidak diketahui secara tepat kapan
penulisannya, akan tetapi dapat dilacak dari hubungannya dengan sekte batiniyah Ismailiyah.
Sebagian dari penjelasannya yang terkenal adalah permasalahan surga dan
neraka. Bahwa sesunguhnya Surga adalah alam aflak, sedangkan neraka
adalah alam di bawah falak bulan, yaitu alam dunia.
Penjelasan tersebut merujuk pada surat Al- A’raf ayat 50
ونادى اصحاب النار اصحاب
الجنة ان افيضوا علينا من الماء او مما رزقكم الله، قالوا إن الله حرمهما على
الكافرين
Artinya : Dan penghuni neraka menyeru penghuni syurga: “limpahkanlah kepada kami
sedikit air atau makanan yang telah direzkikan Allah kepadamu”. Mereka
(penghuni syurga) menjawab: “sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu
atas orang-orang kafir”.
Dengan demikian para mufassir menyatakan bahwa para malaikat berada
pada bintang-bintang aflak dan berkata: Sesunguhnya bintang-bintang falak adalah
malaikat Allah dan raja langit.. Allah menciptakan untuk menjaga alam semesta,
dan mendampingi mahluknya, dan membantu kepemimpinannya, dan meraka adalah
pengelola Allah di aflak-Nya,
seperti makhluk Bumi yang ditugaskan Allah di bumi.
Atas dasar pemikiran ini
Ikhwanu Shafa berpendapat: Jiwa orang mukmin setelah terpisah dari jasadnya
akan menuju ke alam malakut langit dan memasuki alam malaikat, hidup dengan roh
suci, suci di alam aflak. Dalam tingkatan langit: farhah, masrurah, munimah,
mutaldzdadh, mukaramah, mughtabithoh. Dan mereka menyatakan bahwa demikian itu
adalah makna Allah azza wajalla dalam Surat Fathir ayat 10 :
........إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه
Artinya : ........Kepadanya-Nyalah naik perkataan-perkataan yang
baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.
3.
Tafsir ibnu sina
Ibnu Sina digambarkan seperti seseorang muslim yang di tangan kanannya
terdapat Al Qur’an dan di tangan kirinya terdapat ilmu filsafat, sehingga
ia sanggup memadukan dengan jernih antara agama dan filsafat. Ia mengsikronkan
antara nash-nash Al-Quran dengan pandangan-pandangan filsafat yang keduanya
berada saling berdialektika.
Pandangan Ibnu Sina terhdap al-Qu’ran dan
Filsafat adalah memahami pandangan filsafat dalam Al-Qur’an dan menjelaskan AL-Qur’an dengan filsafat. Adapun metodologi yang digunakan Ibnu
Sina yaitu menjelaskan makna hakikat agama dengan pemikiran filsafat. Hal ini
didasarkan bahwa sesungguhnya
Al-Qur’an adalah tak terkecuali dengan beberapa ketentuan yang ketentuan itu
oleh Nabi Muhammad saw terpancang pada makna hakikat yang terkandung.
Atas dasar pemikiran ini, menurut Ibnu Sina bahwa nash-nash Al-Qur’an tidak diketahui hakikatnya kecuali
dengan kekhususan yang terkandungnya, maka tugas para mufassir untuk
menjelaskan beberapa hukum yang terkandung di dalamya dengan perspektif
filsafat serta tidak menyimpang dari ruh Al-Qur’anul Karim.
Mislanya, Ibnu
Sina dalam memberikan penjelasan pada surat
al-Haqqah ayat 17:
ويحمل عرش ربك فوقهم يومئذ
ثمانية
Artinya : ..... dan pada hari itu delapan
malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.
Ia menafsirkan arasy dengan al-falak ke sembilan yang merupakan falaknya aflak. Dan menafsirkan malaikat kedelapan yang
mencakup arasy sebab aflak kedelapan terdapat di bawah aflak kesembilan.
Melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan
agama bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan memiliki makna
apa-apa, kosong tanpa arti. Namun sebaliknya yaitu mendapatkan hakikat batin
eksoterik dalam mengamalkan ibadah. Kitab tafsir falasafi yaitu kitab Mafatih
Al-Ghaib karya Al-Fakhr Ar-Razi (w. 606 H).
4. Tafsir
Ilmi’
Al-Qur’an mendorong pula pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an
mendorong ummat Islam untuk
memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu-belenggu
berfikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena alam. Allah telah mendorong
kita untuk mengamati ayat-ayat kauniah, di samping ayat-ayat Qur’aniah. Jadi
pendekatan ini menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan
feneomena-fenomena alam. Contoh penafsiran Ilmi’, ayat 58 surat ke-7 (al-A'raf). Ayat ini menunjukan
bahwa walaupun Tuhan dengan kehendak-Nya diperlukan bagi tumbuhnya
tanam-tanaman, kecocokan tanah juga merupakan syarat tumbuhnya tanaman
tersebut, karena tidak semua tanaman dapat tumbuh pada setiap tanah. Maka
dengan kecocokan tanah, Tuhan menjadikan tanaman itu mungkin untuk tumbuh.
Di antara ulama tafsir yang mendalami tafsir Ilmi’ adalah: Imam Fakh
Al-Razi didalam Tafsir Al-Kabir, Imam Al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin dan
Jawahir Al-Qur’an, Imam As-suyuthi di dalam Tfsir Ilmi’ ini.
5.Tafsir
Adabi-Ijtimai’I
Madrasah Tafsir Adab Ijtimai”I berupaya menyingkap keindahan Al-Qur’an dan
mukjizat-mukjizatnya: menjelaskan makna dan maksudnya, memperlihatkan
aturan-aturan Al-Qur’an tentang kemasyarakatan, dan mengatasi persoalan yang
dihadapi ummat Islam secara khusus dan permasalahan ummat lainnya secara umum..Semua itu dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an yang menuntun jalan bagi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jadi corak
penafsiran tafsir adab ijtimai’ berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan.
Salah satu contoh tafsir adabi-ijtimai’ tafsir Bintu
Syathi’ mengenai ayat pertama surah Ad-Dhuha. Dalam ayat ini mencari arti
linguistik dari term duha. Pemaparan beliau kemudian dikemas dengan penyebutan
beberapa bentuk (sighat) dan penggunaan yang akar katanya adalah duha, semisal
al-dahiyah (unta yang minum pada waktu duha), dahha (mengorbankan kambing pada
waktu duha), yaum adhha (hari berkumpulnya kambing yang akan disembelih pada
hari raya qurban—waktu duha—) dahiyah (langit yang terkena sinar matahari), dan
beberapa term lain serta penyebutan maknanya. Bintu
Syathi’ juga mengemukakan bahwa bahwa Al-Qur’an menjadikan lafadz duha sebagai
antonim dari lafadz ‘asyiyyah (senja hari) pada ayat 29 dan 46 surat
Al-Nazi’at, ayat 98 surat Al-A’raf, dan ayat 59 surat Thaha.s Diantara kitab tafsir adabi-ijtima’I adalah:
tafsir Al-Manar, karya Rasyid Ridha (w. 1354 H), tafsir Al-Maraghi karya
Al-Maraghi (w. 1945), tafsir Al-Qur’an Al-Azhim karya Syaikh Mahmud Syaltut.
PENUTUP
- Kesimpulan.
Berdasarkan dari pembahasan rumusan masalah maka penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut : Model tafsir dalam Al-Qur’an
merupakan corak atau kecendrungan para mufassir dalam menjelaskan Al-Qur’an,
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau
tujuannya. Model-model tafsir dalam
Al-qur’an terdiri dari :
tafsir sufistik (penafsiran dengan sudut pandang kebatinan/kerohanian), tafsir
fiqih (penafsiran dengan sudut pandang hukum-hukum syara’), tafsir Falsafi
(penafsiran dengan sudut pandang pemikiran yang terdalam/al-hikmah), Ilmi
(penafsiran dengan sudut pandang fenomena alam), tafsir Adabi Ijtima’I
(penafsiran dengan sudut pandang keindahan kebahasan).
- Kritik dan Saran.
Dalam penulisan ini, penulis tidak lepas dari hakekat manusia
sebagai mahluk yang tak lepas dari kekurangan, dengan ini kami mohon saran dan
kritik membangun untuk kesempurnaan tulisan ini.
Daftar Pustaka
Al-Farmawi, Abd Al-Hayy, Metode
Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar, Cet. II; Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996
Al-Qaththan , Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, diterjemahkan oleh. Aunuf Rafiq El-Mazani, Lc. MA, Cet. I; Jakarta: Pustaka
Al-Kausar, 2006
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir,
Cet. III; Bandung :
Pustaka Setia, 2005.
As-Shiddieqy, Hasbhy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1994)
Anwar
rosihon.(2008). Ilmu tafsir.
Bandung : Pustaka Setia.

Komentar
Posting Komentar